Pas iseng browsing, gw nemu poster ini di blog'nya National Geographic Indonesia.
Kalo balik dari Jogja sering banget liat Bis Nusantara Semarang-Kudus-Lasem.
Cultural Trip ala NGI ini pasti seru. Kudus kan deket banget sama gw, dan Lasem pasti juga ga begitu jauh. Gw pikir seru juga kali yaa.. kalo bisa di contek itinerary'nya, tapi dengan low badget alakadarnya. Hahahhaahaa.... Semoga aja Cultutal Trip Kudus-Lasem segera di muat di majalah NGI.
Ini dia seputar sejarah dibalik acara CULTURAL TRIP KUDUS-LASEM'nya NGI:
‘Le Petit Chinois’ yang Terlupakan
...
Lasem adalah sebuah kota kecamatan di pantai utara Jawa yang terletak sekitar 15 kilometer dari kota Rembang ke arah timur. Disebelah barat menjulang Gunung Argopuro, dan disebelah timur terdapat persawahan yang tersebar luas. Lokasinya sangat strategis karena ada ditengah-tengah jalan utama (dulu disebut sebagai grotepostweg pada jaman kolonial Belanda atau jalan raya pos) yang menghubungkan antara Surabaya dan Semarang.Lasem sudah dikenal sebagai kota pelabuhan semenjak abad ke-7 dan merupakan kota besar sepanjang garis pantai utara. Namun baru dikenal sebagai kerajaan pada tahun 1351, saat kerajaan Majapahit masih berjaya. Rajanya bernama Dewi Indu (bergelar Bhre Lasem) yang masih terhitung adik Raja Hayam Wuruk. Pada masa itu Lasem menjadi kota pelabuhan ramai dan menjadi vital posisinya. Pelabuhan terletak di daerah Kiringan, Regol dan Bonang Binangun.
Kedatangan orang Cina pertama di Lasem tercatat pada abad XV (1411-1416), bernama Bi Nang Un. Ia adalah seorang Cina muslim beraliran Hanafi, utusan dinasti Ming yang berasal dari wilayah Yunan. Ialah pelopor pendirian pemukiman di Lasem. Baru setelah itu masuklah orang-orang Hokkian yang menganut agama Kong Hu Cu. Di masa modern ini Lasem terkenal sebagai kota tua bernuansa Cina. Pengaruh kebudayaan Cina terasa mendominasi pada banyak segi kehidupan kota. Banyak sekali peninggalan bangunan-bangunan tuanya yang sudah berusia ratusan tahun selain indah juga unik, kebanyakan bernuansa arsitektur khas Cina meski ada juga yang bernuansa eropa klasik. Tidak salah jika kota Lasem pernah disebut dengan ”the little Beijing old town” oleh seorang peneliti eropa zaman kolonial. Oleh orang Perancis, Lasem dijuluki ”le petit Chinois” yang artinya Cina kecil. Bangunan-bangunan tua ini terletak di desa Babagan, Gedong Mulyo, Karang Turi, Soditan, Sumber Girang dan Ngemplak. Sebagian besar bangunan itu masih terpelihara dengan baik walaupun ada sebagian yang di biarkan terbengkalai. Sejak tahun 1986 Pemda Rembang menetapkan bangunan-bangunan tersebut sebagai bagunan cagar budaya yang harus dilindungi keberadaannya. Meski ada juga pemiliknya yang merenovasi namun tidak banyak dan hanya bagian tertentu saja yang mana tidak merubah bentuk bangunan intinya.
Dalam Serat Badra Santi, yang ditulis Mpu Santi Badra tahun 1479 dan diterjemahkan dalam bahasa Jawa oleh Kamzah R Panji, disebutkan bahwa pada tahun 1273 Saka atau 1351 Masehi, Lasem telah menjadi tanah perdikan Majapahit. Ketika itu, Lasem dipimpin seorang perempuan bernama Dewi Indu, keponakan Raja Hayam Wuruk bergelar Bhre Lasem. Dalam versi Kitab Negarakertagama, Bhre Lasem waktu itu adalah seorang putri bernama Sri Rajasaduhitendudewi, adik perempuan Hayam Wuruk. Bhre merupakan gelar untuk penguasa daerah di bawah imperium Majapahit. Masih menurut Badra Santi, Bi Nang Un adalah seorang Campa (daerah Indochina, sekitar Vietnam, Kamboja, Laos yang kala itu menjadi bagian wilayah Kekaisaran Dinasti Ming). Istri nakhoda itu, Puteri Na Li Ni, dikisahkan yang selanjutnya membawa seni batik ke Lasem.
KISAH PERTAUTAN DUA BUDAYA DARI GURATAN CANTING
Jejak pembauran etnis Cina dan Jawa masih terasa hingga kini di Lasem. Hal itu terekam jelas dalam selembar kain batik Laseman. Motif batik Lasem menyimpan kisah pertautan dua budaya : Cina dan Jawa. Ragam hiasnya kental dengan pengaruh budaya Cina, seperti motif burung hong, kupu-kupu, banji dan kikin, berpadu serasi dengan motif geometris Jawa seperti parang, kawung, sampai udan liris. Lasem bahkan pernah menjadi salah satu primadona dunia perbatikan, dengan ciri khas dominasi warna merah yang menyerupai merah getih pithik, darah ayam. Warna merah ini sangat khas dan tidak dimiliki oleh daerah lain, sebab, merah ini tercipta tidak semata-mata karena campuran bahan pewarna saja tapi karena ada faktor air tanah di kawasan Lasem ketika proses perwarnaan dilakukan. Pada era penjajahan Belanda, “batik tiga negeri” amatlah kondang. Disebut demikian karena dalam selembar kain batik tiga negeri, prosesnya dilakukan di tiga wilayah Jawa yang terkenal dengan pewarnaannya yang khas. Untuk warna biru indigo dilakukan di Kudus, warna soga di Solo atau Yogya, sedangkan warna merah di Lasem. Tak mengherankan, kala itu batik tiga negeri bernilai tinggi dan biasanya dimiliki oleh masyarakat kalangan atas. (Disarikan dari berbagai sumber)
MENGUAK JEJAK MASA LAMPAU KOTA TUA
“Cultural Trip to Lasem & Kudus” ini dikemas khusus bagi pencinta seni budaya Nusantara dengan sentuhan yang ringan dan bersahabat. Peserta Cultural Trip akan dipandu langsung oleh narasumber dan tokoh budaya Lasem, Bpk. SIGIT WITJAKSONO (Njo Tjoen Hian), serta diajak untuk menyaksikan jejak sejarah dialog antarbudaya Jawa dan Cina yang masih terekam melalui aktivitas masyarakatnya, bertatap muka dengan saksi-saksi bisu peninggalan tradisi yang tercermin dari bangunan tua, kain batik, sampai keragaman boga.
Hey there...!
Welcome to my little superworld.
Hello, i'm MONDA TOHRU and SUPERMON is the other side of me V(^_^). I enjoy every moment and try to write and share through this blog post.
Thanks for dropping by SUPERMON! Take a look around and grab the RSS feed to stay updated. See you around!
Categories
Super Facebook
@momonda
---
-
Monday, October 03, 2011
Cultural Trip Kudus Lasem
Labels:
Celoteh,
cultural tourism,
Indonesia,
Jalan-jalan,
Kudus,
SUPERMON
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment